Senin, 09 Februari 2009

LIBURAN..

Oke..saya harus sepakat dengan mama saya bahwa mandi dua kali sehari memang banyak manfaatnya. Selain tubuh lebih bersih, energi positif akan muncul setelah kita disegarkan terapi air, kita pun siap untuk melakukan aktivitas. Pastinya dengan hasil yang lebih baik dibanding hanya mandi di pagi hari. Beda halnya dengan seniman, mereka mungkin mempunyai chemistry khusus dengan tanpa mandi untuk berkarya. Jadi bukan berarti mereka gak produktif walaupun kadang tak mandi sekalipun dalam sehari.
Intinya, saya harus mulai memupuk kebiasaan baik mandi dua kali sehari, setelah bertahun-tahun absen.




muka segar



Saya sebenarnya ingin posting hari-hari penuh kebahagiaan saya di bulan ini. Tanggal 4 dan 5 februari lalu, saat semua orang tersayang sangat membuat saya merasa spesial. Apalagi cerita tentang ipa empat. Sayangnya, setelah saya baca dan terlalu saya-sentris, pasti agak males bacanya. Saya tunda dulu deh. Tapi saya ucapkan terimakasih banyak untuk teman-teman semua.. saya sayang kalian, dan nyaman berada di antara kalian..

Well, pagi ini saya krs pertama dalam hidup. Saya rencanakan berangkat pukul enam pagi. Terdengar lebay bagi sebagian orang, saya merenung, akhirnya berangkat pukul 07.30.
Setiba saya di kampus, pemandangan yang tidak diduga terlihat nyata, antrian panjang, seperti di kediaman dukun cilik Jombang. Yang ini berlebihan. Rencana krs yang telah saya susun rapi kemarin, amburadul kemana-mana. Tapi bodo amat, terima saja dengan lapang dada.

Saya sudah bosan libur kalau boleh jujur. Liburan kali ini saya hanya ngendon di Jogja. Bukan masalah sebenarnya, karena kesenangan itu ada dimana-mana. Tetapi rutinitas saya agak memuakan, atau malah sangat-sangat. Kalau bisa bermain keluar rumah saya rasa tidak akan begini jadinya, tetapi sudah rahasia umum kalau saya ini anak setengah pingit. Nggak dipingit banget, tapi ga dilos juga.half pingit.

Betapa tidak, kita tengok jadwal harian saya saat tak ada acara, begini:
05.00 bangun solat subuh,langsung tidur lagi beberapa menit setelahnya
10.00 badan terasa segar dan saya siap untuk benar-benar bangun
10.02 baca headline Koran
10.30 nonton tivi lalalalalala
13.00 bobo siang
15.30 bangun lalalallala
*tau-tau uda magrib.
Untungnya saya gak suka lia dan sekar, jadi belom RCTI mode on
20.30 alisa
21.30 rafika
22.30 nonton bioskop trans tv atau film di indosiar
01.00 baca buku
02.30 ngantuk, dan tidur

Tidak sehat, bukan? Beda cerita kalau ada papa saya. Beliau paling gak suka saya tidur seusai subuhan. Dengan penuh acting saya tahan mata, baca Koran tegak-tegak, di balik Koran mata saya terpejam. Kalau dipanggil saya akan kaget sejadi-jadinya, sulit untuk acting muka gak bangun tidur di balik koran. Subtitusinya kadang saya ganti dengan nonton star kids. Tapi tambah parah aja, asty ananta sangat tidak menarik, walau rambutnya berkilau. Boneka nerbicaranya juga sangat jayus. Saya tertidur lagi di sudut kursi keluarga. Sampai papa satya meneriakan”koyo gombal amoh..”
Kejem.
Suatu hari saya sok melek pasca subuhan, kembali ke kamar, dan tidur lagi. Pukul 11.00 saya terbangu kaget, papa saya teriak memanggil. Ide baru, bawa buku, sok mengisi waktu dengan membaca sejak habis subuhan sampai pukul 11.00. ayah saya berkata”tiduuuurr aja kerjaanmu..”
Sambil ngangat buku“aku baca kok, ini..nii”
Beliau mematahkannya”ah kamu, bangun tidur langsung ambil buku, biar dikira habis baca..”
“gak kok, enggak.. yeee!”jawaban saya makin tak logis.
Intinya papa saya gak bisa diakalin.huh..

Suatu hari saya bercerita kepada teman saya, bunga. “kenapa sih papaku gitu banget?padahal kan aku libur..”
Setelah saya ceritakan kronologisnya, bunga bilang”nek aku koyo koe, aku wes diusir bapakku..”
Saya pun sadar, tapi hal itu berulang di keesokannya.
Kalau dipikir-pikir emang tingkah saya sangat kekanakan, tidak menggambarkan wanita 19 tahun yang harusnya bagun pagi, menyapu halaman, dan membantu ibu memasak di saat liburan. Entahlah.. saya bingung sendiri
Tapi saya akan berusaha untu berubah, harus bisa!

Malam ini sebaiknya saya tidur cepat, agar bisa segar besok pagi. Walaupun kenyataan pahitnya, saya baru bangun tidur sore ini pukul 16.00 setelah tidur dari pukul 12.00.

Minggu, 01 Februari 2009

Tentang Sepertiga Perempuan Menuju Senayan


sebelum dibaca ada baiknya saya jelaskan terlebih dahulu. postingan ini bukan karena saya lagi sok abot, tapi semata hanya tugas liburan, dari majalah equilibrium. bukan buat dimuat sih, makanya saya pikir agak mubazir. makanya saya posting aja. selamat baca^^


Perayaan setahun sekali Hari Kartini tiap 21 April mengingatkan kita pada hakikat kesetaraan gender. Wanita bukanlah lagi objek semu, gambaran kepasrahan dan ketidakberdayaan. Kini mereka merdeka dan bebas berkarya. Tidak terbatasnya ruang lingkup wanita, kini merengkuh sendi kehidupan politik. Wanita Indonesia yang diharapkan tangguh duduk di kursi-kursi perwakilan rakyat. Tahun ini dirancang sepertiga bagian bagi mereka. Namun setelah keputusan caleg terpilih adalah dengan suara terbanyak, apakah tetap layak wanita melenggang untuk 30% kursi hanya dengan alasan memenuhi jatah?
Gonjang-ganjing pemilu. Frase itu yang kiranya tepat untuk merangkum semua pemberitaan penting di media seluruh Indonesia beberapa bulan belakangan. Semakin dekat, sekitar enam puluh hari lagi, kita semua akan berpesta mengenyam nikmat hidup di negara demokrasi. Pesta ini agaknya banyak berbeda dengan yang terdahulu. Pasca ketokan palu Ketua Mahkamah Konstitusi tentang penentuan wakil rakyat dengan suara terbanyak, berbagai pihak mengaku puas, tetapi yang lainnya kecewa lantaran segunung argumen yang juga berdasar. Salah satu argumen yang cukup kuat adalah berkaitan dengan kebijakan penempatan 30% kursi bagi perempuan. Bila caleg terpilih adalah mereka yang mendapat dukungan terbaik, maka undang-undang mengenai pengkaderan wanita tidak akan berjalan sesuai rencana, karena bisa saja semua yang mendapatkan suara terbanyak adalah kaum pria. Komisi Pemilihan Umum yang notabene tidak berhak melakukan interfensi terhadap keputusan pemilu angkat bicara bahwa apapun yang terjadi nanti, harus tetap ada 30% wanita di DPRD dan DPR.
Sedikit mengulas tentang situasi bila suara terbanyaklah yang menentukan kemenangan seorang calon legislatif. Ibarat kata, pertempuran makin sengit, dan mereka yang bertarung akan mengeluarkan segenap kekuatan untuk menjadi yang terbaik. Hal yang dikawatirkan adalah mereka yang berkantung tebal akan diuntungkan atas kondisi ini, semuanya berkutat pada pemilih, bukan lagi keberuntungan nomor urut. Inilah yang mendasari anggapan bahwa perempuan akan sulit mengenyam jalan lurus menuju kursi dewan.
Merujuk kepada asas keadilan, misalnya saja digambarkan bahwa satu partai memperoleh sembilan kusi di daerah X, urutan 1-8 diduduki oleh pria, dan 9-12 wanita. Bila 30% harus wanita, maka otomatis para pria di posisi tujuh dan delapan, harus rela digeser oleh wanita posisi sembilan dan sepuluh, sedangkan si sebelas duduk di kursi terakhir. Andaikan data kongkretnya, pria posisi tujuh mendapatkan 3000 suara, wanita posisi sembilan 1000, apakah ini adil? Bahkan pria posisi tujuh ini harus memberikan kursi terakhir kepada wanita ke sebelas yang hanya dapatkan 200 suara. Pria posisi delapan pun harus kecewa berat, mengingat 1800 suara yang ia dapatkan ternyata sia-sia dibanding 1000 suara yang didapat seorang wanita.
Analisis terakhir, mengenai harkat riil seorang wanita. Bukankah putusan ini tampak seperti sekadar belas asih atas segala keterbatasan mereka? Padahal tidak sedikit wanita di negeri ini yang mempunyai potensi besar dan diyakini mampu berdiri sejajar dengan pria. Sebenarnya tanpa alasan 30% pun, bila seorang wanita memang layak untuk jadi anggota dewan, ia tetap akan duduk di kursi itu.
Arti sesungguhnya dari pemilihan umum adalah bukan bagaimana seseorang menaiki tangga kekuasaan, tetapi bagaimana rakyat memulai lembaran baru di negara dengan pemimpin yang punya kekuatan besar dan mampu mengubah kehidupan mereka ke arah yang lebih baik.
Habis gelap terbitlah terang, begitu kata R.A. Kartini. Setelah berabad-abad masa suram kita alami, kini saatnya wanita bangkit. Kebangkitan menuju eksistensi bukan dengan berunding hebat memperjuangkan kemurahan hati sebagai medianya, seperti yang kini dilakukan oleh beberapa anggota KPU perempuan. Kekuatan kita sendirilah yang dapat memancarkan eksistensi tersebut. R.A.Kartini tidak pernah meminta sebuah sekolah lengkap untuk diisi pelajar wanita, bukan? Beliau menyusun keping demi keping harapan dan perjuangan menjadi sejuntai kalung indah sebagai hiasan bagi wanita, lebih dari kecantikan semata. Sama halnya, wanita bisa melenggang ke Senayan tanpa harus dijadikan pelengkap memenuhi tempat mereka, justru persaingan yang sesungguhnya baru dimulai bila mereka disejajarkan dengan pria.rahmia.